Hutan tropis di negara-negara Global South adalah ekosistem yang sangat berharga, namun perubahan iklim mengancam kelestarian keanekaragaman hayati wilayah hutannya. Penting untuk melakukan aksi perlindungan guna menjaga keberlangsungan hutan tersebut. Terdapat kelompok yang paling terdampak oleh perubahan iklim yaitu Masyarakat Adat dan masyarakat lokal (IPLC) di wilayah hutan. Banyak dari mereka tidak memiliki akses ke pendanaan konservasi dan pembentukan strategi konservasi. Ketidakseimbangan kekuasaan ini mengakibatkan proyek-proyek perlindungan keanekaragaman hayati menjadi tidak berkelanjutan dalam jangka panjang. Meskipun telah berupaya melindungi tanah mereka, Masyarakat Adat dan lokal seringkali tidak dihargai atas dedikasi mereka. Bahkan, dalam kasus yang ekstrim, upaya konservasi bisa berujung pada kematian.
Selama beberapa dekade terakhir, kesadaran untuk melakukan investasi dalam aksi iklim dan konservasi yang melibatkan peran Masyarakat Adat dan lokal semakin meningkat karena meningkatnya pemahaman banyak pihak akan pentingnya keterlibatan Masyarakat Adat dan lokal dalam mengelola hutan secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Selama beberapa dekade terakhir, kesadaran akan perlunya investasi aksi iklim dan konservasi yang melibatkan peran Masyarakat Adat dan lokal telah meningkat secara signifikan. Hal ini dipicu oleh pemahaman yang semakin meluas diberbagai kalangan akan pentingnya keterlibatan Masyarakat Adat dan lokal dalam manajemen hutan karena mereka dapat memastikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Tentunya keterlibatan mereka dapat memberikan dampak yang signifikan untuk menghadapi perubahan iklim.
Salah satu aksi iklim yang dimaksud adalah REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi), sebuah model mitigasi perubahan iklim yang memberikan insentif kepada Masyarakat Adat dan lokal atas upaya mereka dalam menjaga kelestarian hutan. Pendekatan REDD+ berbasis masyarakat menekankan pada kearifan lokal, pengetahuan tradisional, dan aspirasi pembangunan yang ditetapkan oleh Masyarakat Adat dan lokal sendiri untuk melestarikan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Dengan pendekatan ini, proyek REDD+ memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam pasar global sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada dana donor.
Ketika pengembang proyek karbon membangun proyek REDD+ di negara-negara Global South, penting bagi pemerintah, Masyarakat Adat dan lokal untuk terlibat sebagai mitra yang setara. Ini merupakan syarat mutlak agar proyek dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan.
Rekomendasi-rekomendasi berikut bertujuan untuk menciptakan proyek REDD+ berbasis masyarakat yang sukses. Pengembang proyek perlu memastikan bahwa kompensasi yang diperoleh dari proyek-proyek ini bersifat langsung, nyata dan terukur bagi masyarakat dan pemerintah tuan rumah. Ketujuh rekomendasi ini disaring dari Praktik Terbaik untuk Kerangka Implementasi Proyek, yang dibuat melalui kemitraan Wildlife Works dengan The Nature Conservancy, dan berdasarkan pengalaman Wildlife Works selama 25 tahun bekerja secara langsung dengan masyarakat dalam proyek konservasi satwa liar dan hutan.
Rekomendasi Pertama: Dengarkan Suara Masyarakat Adat dan Lokal
Sebelum memulai proyek, pengembang perlu mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk berbagi pengetahuan secara mendalam dan mendengarkan aspirasi masyarakat, termasuk sejarah masyarakat, struktur pemerintahan, sumber daya alam dan penggunaan lahan.
Jike memungkinkan, pengembang proyek sebaiknya melibatkan organisasi lokal yang terpercaya dan sudah menjalin hubungan dengan masyarakat sehingga dapat membantu memastikan interpretasi informasi yang akurat.
Rekomendasi Kedua: Pastikan ada Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA)
Masyarakat adat dan lokal harus memiliki akses yang memadai terhadap informasi dan diberikan waktu yang cukup untuk mempertimbangkan serta memberikan persetujuan sebelum, maupun selama pelaksanaan suatu proyek oleh pengembang. Masyarakat dianggap sebagai penjaga lingkungan dan sumber daya alam di wilayah tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, semua pandangan, gagasan, dan pengetahuan sejarah yang dimiliki oleh masyarakat tersebut harus diintegrasikan dalam perencanaan dan implementasi proyek. Selama masa pelaksanaan proyek, menjaga dialog yang berkelanjutan dengan masyarakat menjadi sangat penting. Mekanisme umpan balik juga harus tersedia untuk memastikan bahwa masyarakat dapat mengungkapkan kekhawatiran mereka dan memberikan masukan, sehingga kualitas proyek menjadi lebih baik lagi.
Dalam membangun proyek, pengembang harus menghormati budaya masyarakat setempat dan membina hubungan dengan tujuan jangka panjang serta mempertahankan struktur tata kelola yang telah ada di masyarakat. Hal ini untuk memastikan bahwa para pemimpin setempat ikut dilibatkan sebagai rekan proyek dan berperan sebagai mitra pelaksana.
Rekomendasi Ketiga: Undang, Libatkan dan Sepakati Pembagian Pendapatan yang Adil
Pembagian pendapatan harus diatur melalui suatu perjanjian untuk memastikan alokasi maksimal dari pendapatan yang diperoleh dapat disalurkan secara langsung kepada masyarakat. Masyarakat sendiri yang harus memiliki kendali sehingga dapat menentukan proyek pembangunan seperti apa yang mereka butuhkan dan sejalan dengan model bisnis berkelanjutan. Idealnya, struktur pendapatan sebaiknya sejalan dengan kebijakan program karbon nasional negara tuan rumah.
Berdasarkan persyaratan hukum terbaru, para pengembang proyek karbon harus menetapkan mekanisme yang tepat untuk sistem bagi hasil, seperti mendirikan komite yang anggotanya dipilih secara demokratis oleh masyarakat setempat. Hal ini harus didasarkan pada praktik terbaik yang ada dan pembelajaran dari proyek-proyek REDD+ sebelumnya.
Rekomendasi Keempat: Mendukung Hak Masyarakat atas Tanah
Dengan persetujuan masyarakat, proyek REDD+ dapat dilakukan di lahan yang dimiliki, dihuni dan digunakan oleh Masyarakat Adat dan lokal. Diperlukan status kepemilikan tanah dan hak adat yang jelas untuk menghindari terjadinya alokasi pendapatan karbon yang salah sasaran sehingga menganggu jalannya proyek REDD+.
Oleh karena itu, pengembang proyek perlu menjalin kerja sama dengan mitra masyarakat serta pihak-pihak pemangku kepentingan lainnya untuk menetapkan hak kepemilikan dan penggunaan yang jelas terkait tanah dan karbon. Pemetaan partisipatif menjadi instrumen penting untuk mendalami pemahaman masyarakat mengenai hak-hak, sumber daya, tanah, dan wilayah berdasarkan hukum adat. Hal ini menjadi syarat krusial untuk kesuksesan proyek REDD+ berbasis masyarakat. Dengan demikian, proyek REDD+ yang berfokus pada hak kepemilikan telah terbukti menjadi pendorong untuk mengklarifikasi serta memperkuat hak kepemilikan dan hak adat bagi IPLC.
Rekomendasi Kelima: Rancang, Pantau dan Berikan Insentif
Penting sekali untuk melakukan pengukuran yang akurat saat pemantauan, pelaporan, dan verifikasi karena itu merupakan bagian dari upaya mengurangi deforestasi.
Setiap proyek REDD+ harus menetapkan target pengurangan emisi yang jelas dan lokasi yang spesifik sehingga dapat memberikan kompensasi kepada masyarakat ketika target tersebut berhasil dicapai atau bahkan melampaui dari yang diharapkan.
Rekomendasi Keenam: Mengembangkan Peluang Ekonomi dan Sosial
Setelah transparansi dan akuntabilitas tercipta, pendapatan dari karbon dapat menjadi alat yang kuat untuk transformasi.
Sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi pengembangan masyarakat, dana karbon dapat dialokasikan ke berbagai investasi, seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, dan infrastruktur. Kegiatan proyek ini memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam masyarakat. Keberlanjutan proyek menjadi sangat penting untuk menjaga keberhasilan konservasi dalam jangka panjang.
Rekomendasi Ketujuh: Alokasi Garis Dasar (Baseline) yang Akurat dan Tepat Sasaran
Alokasi baseline yang memperhitungkan risiko Tingkat Emisi Rujukan Deforestasi dan Degradasi Hutan (Forest Reference Emission Level/FREL) sesuai dengan risiko deforestasi di masa depan merupakan metode yang efektif untuk mendorong lebih banyak pendanaan perlindungan hutan kepada masyarakat untuk menghadapi tekanan deforestasi yang tinggi.
Metode alokasi baseline dari penilaian risiko ini memungkinkan pemerintah nasional menggunakan pasar karbon sukarela secara efektif untuk memusatkan pendanaan ke kawasan hutan dengan risiko tertinggi, sekaligus berkontribusi pada komitmen iklim global mereka melalui Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC).
Implementasi Proyek REDD+ di Republik Demokratik Kongo
Sebagai contoh penerapan efektif dari rekomendasi ini, mari kita melihat proyek REDD+ Wildlife Works di Republik Demokratik Kongo, Mai Ndombe. Proyek ini menjadi dasar bagi pengembangan Kerangka Praktik Terbaik Republik Demokratif Kongo.
Meskipun Republik Demokratik Kongo masih merasakan dampak kolonialisme dan perang saudara, negara ini juga kaya akan sumber daya alam. Faktanya, hutan di Republik Demokratik Kongo saat ini menyimpan lebih banyak karbon daripada hutan hujan Amazon.
Proyek REDD+ Mai Ndombe yang melindungi 300,000 hektar hutan dan tujuh spesies yang sangat terancam, menunjukkan bagaimana program REDD+ yang berorientasi pada masyarakat dapat memberikan solusi yang adil bagi masyarakar yang terpinggirkan.
Sejak 2011, proyek REDD+ Mai Ndombe telah memanfaatkan pendanaan karbon untuk mengatasi tantangan masyarakat. Hingga saat ini, dana tersebut digunakan untuk membangun 12 sekolah baru, enam sekolah sedang dalam konstruksi dan mendirikan rumah sakit serta enam unit perawatan kesehatan bergerak di wilayah yang sebelumnya tidak memiliki fasilitas kesehatan.
Bagi anggota masyarakat yang ingin menjadi anggota Komite Karbon Lokal (Local Carbon Committees) untuk ikut serta dalam penetuan penggunaan pendapatan dari proyek, mereka akan dipilih melalui proses demokratis. Pengetahuan lokal, didukung oleh ilmu pengetahuan, memperkuat ketahanan pangan dan memantau pemulihan biodiversitas di wilayah tersebut. Proyek ini efektif dalam mencegah emisi dari deforestasi, melindungi keanekaragaman hayati dan menciptakan peluang ekonomi baru yang berkelanjutan.
Proyek ini juga merupakan proyek REDD+ pertama yang terintegrasi ke dalam program yurisdiksi Republik Demokratik Kongo, memastikan bahwa kontribusi pengurangan deforestasi di Mai Ndombe dihitung dalam komitmen iklim global negara tersebut.